Suasana pagi di Taman Perumahan sangat hidup. Orang-orang sibuk dengan aktivitas mereka, dan aku bersama kakakku memanfaatkan waktu pagi ini untuk berolahraga di taman. Namun, kegiatan kami terhenti ketika aku merasa haus setelah beberapa putaran mengelilingi taman. Kami lupa membawa minum dari rumah.
“Mas, aku haus. Ayo, kita beli minum di toko dekat sini,” ajakku pada kakakku.
Kami berjalan menuju toko yang tidak terlalu jauh dari taman. Di tengah perjalanan, mataku tertuju pada seorang anak laki-laki yang sedang menawarkan dagangannya kepada orang-orang yang lewat. Tubuhnya terlihat kurus, dan ia memikul susunan cobek sambil menawarkan dagangannya dengan suara lantang.
“Cobek, cobek, mari beli cobeknya!” teriaknya semangat.
Hati kecilku tersentuh melihatnya. Aku merasa iba dan juga malu pada diriku sendiri. Aku teringat pada kebiasaanku yang suka marah-marah jika keinginanku tidak terpenuhi, sementara di depanku ada anak yang mungkin harus berjuang keras untuk mencari nafkah.
Kami akhirnya sampai di toko dan membeli minuman serta beberapa jajanan. Saat berada di kasir, kakakku heran melihat banyaknya yang aku beli.
“Loh, kenapa kamu beli banyak sekali?” tanyanya heran.
Aku hanya diam sambil tersenyum sambil cengar – cengir. “Untung Mas Danu bawa uang banyak,” godanya.
Setelah selesai berbelanja, aku melihat anak penjual cobek tadi masih berdiri di sana. Aku memutuskan untuk mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Aku menawarinya minuman dan beberapa jajanan, lalu mulai mengobrol dengannya. Aku menatapnya dengan penuh rasa iba.
Ternyata, anak itu bernama Rian. Dia terpaksa berjualan untuk bisa melanjutkan sekolahnya yang terhenti karena kesulitan ekonomi keluarganya. Ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu. Ibunya hanya buruh serabutan. Penghasilan ibunya hanya cukup untuk makan sederhana tiap hari. Rian punya adik perempuan berumur tiga tahun. Ia dan keluarganya hidup menumpang pada saudaranya. Mendengar ceritanya membuatku terdiam.
Ah… sedih sekali. Aku tak menyangka, diusianya yang seumuranku, dia harus menanggung beban yang begitu berat seperti ini. Sesak dadaku karena ikut bersimpati. Aku tidak pernah benar-benar memahami arti kesulitan hidup seperti yang dia alami. Harusnya aku lebih banyak bersyukur atas segala nikmat yang sudah Allah SWT berikan kepadaku. Aku memiliki orang tua yang utuh dan sayang kepadaku. Aku memiliki kakak yang juga sayang kepadaku. Kehidupan keluarga kami berkecukupan. Astaghfirulloh haladzim maafkan aku ya Allah atas segala khilafku, hambamu yang masih banyak kurang bersyukur ini.
“Subhanallah, begitu malang nasibmu,” gumamku dalam hati.
Sebagai ungkapan Syukur atas segala nikmat yang telah aku terima, aku memberikan sedekah dari uang jajanku dan sedikit jajan dan minuman yang telah aku beli di toko hari itu kepada Rian. Aku berharap agar dia selalu sehat dan bisa melanjutkan pendidikannya dengan baik.
“Semangat ya Rian. Kamu jangan putus asa. Semoga nanti kamu bisa sekolah lagi. Insya Allah kelak kamu bisa menjadi orang yang sukses dan dapat mengangkat derajat keluargamu. Aamiin.” Kataku menyemangati Rian.
Setelah berpamitan pada Rian, aku kembali berjalan pulang bersama kakakku. Dalam perjalanan pulang itu, aku merenung. Betapa beruntungnya aku memiliki keluarga yang selalu mendukungku, sementara ada anak-anak lain di luar sana yang harus berjuang keras untuk mencapai cita-citanya.
Sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dalam dan menemui ayah dan ibuku yang sedang duduk di ruang tamu. Aku berlari menghampiri mereka. Sungguh, hatiku rasanya campur aduk. Aku teringat Rian dan aku juga teringat sikapku yang masih sering kurang bersyukur.
Ayah dan ibuku menyambutku dengan senyum hangat. Mereka tampak sedikit kaget melihat mimik wajahku yang hampir mau menangis.
“Kamu kenapa, Nak? Sudah selesai berolahraganya?” tanya ibuku.
“Ini adekmu kenapa kak? Pulang-pulang kok berkaca-kaca” tanya ibuku heran.
“Coba tanya adek sendiri bu. Kenapa dia sampai begitu” jawab kakakku sambil tersenyum.
“Aku baik-baik saja, Bu. Tadi di taman, aku bertemu dengan seorang anak penjual cobek yang Bernama Rian,” jawabku sambil duduk di sebelah mereka.
“Apa yang membuatmu bertemu dengan anak penjual cobek yang bernama Rian?” tanya ayahku penasaran.
Kuceritakan pada mereka tentang Rian, tentang keadaannya yang terpaksa berjualan demi melanjutkan sekolahnya. Ayah dan ibuku mendengarkan dengan serius, dan wajah mereka penuh perhatian.
“Astaghfirullah, sungguh memilukan sekali keadaan yang sedang Rian alami ,” ucap ibuku dengan nada prihatin.
“Aku merasa bersyukur, Ayah, Ibu. Kita memiliki segalanya, sedangkan ada anak-anak lain yang harus berjuang keras untuk sesuatu yang seharusnya menjadi hak mereka ,” kataku dengan penuh rasa syukur.
Ayah dan ibuku saling bertatapan, lalu ayahku mengusap kepalaku dengan lembut. “Kamu benar, Nak. Kita harus selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Dan kita juga harus senantiasa membantu sesama yang membutuhkan.”
Keesokan harinya, setelah pulang dari sekolah, aku mencari Rian di tempat biasa ia berkeliling menjajakan cobeknya. Akhirnya ketemu. Aku mengajak Rian ke toko buku. Aku membelikannya beberapa buku pelajaran dan alat tulis yang dia butuhkan untuk sekolah. Wajahnya berseri-seri ketika menerima hadiah itu.
“Terima kasih, Mas. Saya tidak tahu bagaimana bisa membalas bantuannya,” ucap Rian dengan senyum penuh tulus.
“Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu, Rian. Semoga kamu selalu semangat dalam mengejar cita-citamu,” kataku sambil menggenggam tangannya dengan erat.
Hari-hari berlalu, dan aku terus memikirkan Rian dan keadaannya. Aku belajar untuk lebih bersyukur atas segala yang telah aku miliki, dan juga belajar untuk lebih peduli terhadap sesama. Setiap kali aku merasa terbebani oleh masalah atau kesulitan kecil, aku selalu mengingat kembali cerita Rian dan semangatnya yang membara untuk meraih mimpi-mimpi kecilnya.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kabar dari tetangga bahwa Rian telah kembali ke sekolah. Dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, Rian berhasil mengatasi segala rintangan yang menghalangi langkahnya menuju pendidikan yang lebih baik. Rian kini mendapat beasiswa dan menuntut ilmu di pesantren. Ada orang tua asuh yang menyekolahkannya. Adeknya pun kini juga sudah bersekolah. Alhamdulillah banyak tangan yang membantu keluarga Rian. Ibu Rian sekarang juga mempunyai usaha kecil. Modalnya dibantu oleh pemerintah.
Kabar tersebut membuatku sangat bahagia. Aku merasa bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan Rian menuju cita-citanya. Ini adalah bukti nyata bahwa dengan sedikit bantuan dan dukungan, kita bisa membuat perbedaan yang besar dalam kehidupan seseorang.
Sejak itu, aku berkomitmen untuk terus membantu orang-orang yang membutuhkan, sekecil apapun bentuk bantuan yang bisa aku berikan. Aku percaya bahwa dengan memberikan sedikit cahaya harapan kepada orang lain, kita juga akan merasakan kebahagiaan yang sejati. Panjang umur orang-orang baik. Barokallohu fiik. Semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat untuk kita semua.
#RADITYA NOVIAN DWI PUTRA