Istiqomah

1. Apa Itu Istiqomah?

Istiqomah telah menjadi bahasa Indonesia, dalam KBBI ditulis dengan ISTIKAMAH artinya sikap teguh pendirian dan konsekuen.

Adapun penjelasan para ulama bahasa, istiqomah memiliki banyak makna, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al Jurjaani Rahimahullah:
Dalam istilah ahli hakikat:
Istiqomah adalah menepati semua janji, dan terus-menerus berada di jalan yang lurus dengan menjaga sikap tengah (moderat) dalam segala hal, baik dalam makan, minum, berpakaian, dan dalam seluruh urusan agama maupun dunia. Itulah yang dimaksud dengan “jalan yang lurus”, sebagaimana jalan yang lurus di akhirat. Karena itulah Nabi Saw. bersabda: “Surat Hud telah membuatku beruban,” karena dalam surat itu diturunkan firman Allah: “Maka beristiqomahlah sebagaimana engkau diperintahkan”.

Istiqomah adalah menggabungkan antara menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat. Dikatakan pula bahwa istiqomah adalah lawan dari penyimpangan, yaitu berjalan seorang hamba di jalan penghambaan dengan bimbingan syariat dan akal.

Istiqomah juga bermakna ketekunan yang terus-menerus. Ada pula yang mengatakan bahwa istiqomah adalah tidak memilih apa pun atas (kehendak) Allah. (At Ta’rifaat, Hal. 19)

2. Mengapa Harus Istiqomah?

Setiap manusia memiliki potensi menjadi orang baik dan jahat

Siapa pun kita, walau kita berada dilingkungan yang baik dengan seperangkat pembinaan yang baik pula, potensi dan jalan untuk menyimpang juga ada. Demikian pula bagi yang berada dilingkungan yang buruk dan besarkan dalam pendidikan yang buruk, potensi dan jalan menjadi orang baik pun ada. Sejarah manusia klasik dan modern menunjukkan hal itu.

Allah Ta’ala telah menegaskan:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Asy Syams: 8)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

قَوْله تَعَالَى ” فَأَلْهَمَهَا فُجُورهَا وَتَقْوَاهَا ” أَيْ فَأَرْشَدَهَا إِلَى فُجُورهَا وَتَقْوَاهَا أَيْ بَيَّنَ لَهَا وَهَدَاهَا إِلَى مَا قَدَّرَ لَهَا

“Firman Allah Ta‘ala: “Lalu Allah mengilhamkan kepadanya (jiwa itu) kefajiran dan ketakwaannya.” Maksudnya: Allah memberi petunjuk kepadanya tentang jalan kefajiran (kejahatan) dan ketakwaan, yakni Allah menjelaskannya dan menunjukkannya sesuai dengan apa yang telah Dia takdirkan untuknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 19/154)

Karena itu, sikap istiqomah menjadi hal yang sangat penting bagi setiap muslim agar tetap berada pada jalan taqwa.

Naik turunnya iman dan amal

Begitulah Template jiwa manusia, hal ini ditegaskan oleh hadits Nabi Saw. berikut:

عنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي، فَقَدْ أَفْلَحَ، وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ “

“Dari Abdullah bin ‘Amru, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: _“Setiap amal ada masa-masa semangat, dan setiap masa semangat ada masa lemah (futur), siapa yang masa lemahnya masih berpegang kepada sunnah maka dia telah beruntung, dan siapa yang kepada selain itu maka dia telah binasa.” (HR. Ahmad no. 6958. Syaikh Syu’aib al Arnuath: shahih. Tahqiq Musnad Ahmad, 11/547)

Naik dan turun, semangat dan lemah, terjadi di semua aspek kehidupan manusia. Dalam dakwah, jihad, rumah tangga, kuliah, mengikuti halaqah, dll. Maka, istiqomah menjaga ritme itu semua adalah ikhtiar yang tidak bisa ditawar.

Istiqomah adalah perintah Allah dan Rasul-Nya

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am: 153)

Ada pun dalam hadits:

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيِّ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ – قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ: بَعْدَكَ – قَالَ: ” قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ “

Dari Sufyan bin Abdillah ats Tsaqafi berkata: “Aku berkata: “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku di dalam Islam tentang perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain kepadamu (Abu Mu’awiyah berkata: setelah dirimu). Beliau bersabda: “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah” lalu istiqomahlah!” (HR. Ahmad no. 15416. Syaikh Syu’aib al Arnuath: shahih. Tahqiq Musnad Ahmad, 24/141

Istiqomah tidak harus banyak, yang penting konsisten

Melakukan amal shaleh yg istiqomah tidak dituntut yang besar-besar, yang kecil dan sederhana-pun asalkan ajeg dan konsisten sudah cukup mendapatkan cintanya Allah Ta’ala.

Rasulullah Saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

Wahai manusia! Lakukanlah amal sesuai kemampuan kalian, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan sampai kalian sendiri yang bosan, sesungguhnya perbuatan yang paling Allah cintai adalah yang KONSISTEN walau SEDIKIT. (HR. Bukhari no. 5861)

Shalat malam walau hanya dua rakaat dengan surat-surat pendek, tapi rutin sepekan sekali, masih lebih baik dibanding puluhan rakaat tapi setahun sekali. Sedekah sepuluh ribu rupiah, misal dua hari sekali, masih lebih baik dibanding dibanding langsung satu juta lalu libur sedekah bertahun-tahun lamanya.

4. Kata Ulama tentang istiqomah

Imam Abu Ali Ad Daqaq mengatakan:

الاستقامة لها مدارجُ ثلاثة، أولها: التقويم؛ وهو تأديب النفس، وثانيها: الإقامة؛ وهي تهذيب القلوب، وثالثها: الاستقامة؛ وهي تقريب الأسرار.

Istiqomah, memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Taqwim (meluruskan), yaitu mendidik jiwa. Kedua: Iqamah (penegakan), yaitu menyucikan hati. Ketiga: Istiqomah (konsistensi sejati), yaitu mendekatkan rahasia batin (kepada Allah). (At Ta’rifaat, hal. 19)

Sementara Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

إن أعظم الكرامة هي الاستقامة

“Sesungguhnya karamah yang paling besar adalah Istiqomah.” (Al Furqan Baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’isy Syaithan, hal. 23)

Tepat apa yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah, bahwa karamah yang terbesar adalah istiqomah yaitu ketika seseorang mampu tegak lurus di atas syariat dan terus begitu sampai akhir hayat. Apalagi di zaman yang penuh fitnah dan godaan maka Istiqomah serasa menjadi barang sangat mewah dan hanya segelintir manusia yang mampu.

5. Meneladani istiqomahnya Ulama terdahulu

Imam Abu Hanifah dan tahajudnya. Asad bin Amru berkata:

أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة

Bahwa Abu Hanifah Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (Siyar A’lam An Nubala, 6/399)

Al Qadhi Abu Yusuf menceritakan:

Ketika saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya mendengar seseorang berkata kepada yang lain: “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur malam.” Lalu Abu Hanifah berkata: “Demi Allah, Dia tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan.” Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan penuh kerendahan dan banyak berdoa.

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah mengatakan:

وإني لأدعو للشافعي منذ أربعين سنة في صلاتي

“Dalam shalat saya, sejak 40 tahun yang lalu saya berdoa untuk Asy Syafi’i.” (Imam Al Baihaqi, Manaqib Asy Syafi’i, 1/54)

Imam Hasan al Bashri mengatakan:

صليتُ في هذا المسجد ثلاثين سنةً ما فاتتني التكبيرة الأولى، وما رأيتُ قفا رجلٍ قط.

Aku telah shalat di masjid ini selama 30 tahun, tidak pernah luput dari takbir pertama (takbiratul ihram bersama imam), dan aku tidak pernah melihat punggung seorang pun (karena selalu berada di shaf pertama). (Hilyatul Auliya, 2/147-148)

Imam As Sakhawi menceritakan bahwa Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menyelesaikan kitab Fathul Bari selama 25 tahun. (Ad-Daw’ al-Lami‘ li Ahl al-Qarni at-Tasi‘, jilid. 2, hal. 36–37)

6. Bagaimana merawat Istiqomah

  1. Bersahabat dengan lingkungan yang baik

Bersahabat dengan lingkungan yang baik baik lingkungan offline dan online, sangat banyak manfaatnya. Ada kontrol sosial, ada imbas kebaikan yang bisa ditularkan, dsb. Saat kita lupa ada yang ingatkan, saat kita belok ada yang meluruskan, saat kita turun ada yang membangkitkan.

Rasulullah Saw bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung agama sahabat dekatnya, maka hendaknya seseorang di antara kalian melihat dengan siapa dia bersahabat. (HR. At Tirmidzi no. 2378. Imam An Nawawi dan Imam Hakim berkata: shahih)

“Dari Abu Musa radhiallahu’anhu, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Perumpamaan teman yang saleh dengan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dengan tukang pandai besi. Boleh jadi seorang penjual minyak wangi itu akan menghadiahkan kepadamu atau engkau membeli darinya atau engkau akan dapatkan bau wanginya, sementara tukang pandai besi hanya akan membakar bajumu atau engkau akan dapatkan bau tak sedap.” (HR. Bukhari no. 5534)

  1. Adanya guru yang membina, mendidik, menjaga, mengontrol.

Al-Hafizh Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi berkata:

‎لا يؤخذ العلم إلا من أفواه العلماء
“Ilmu tidak dapat diperoleh kecuali dari lidah para ulama.” (Ar Risalah Al Ghumariyah, hal. 4)

Sehebat apa pun para sahabat adalah Rasulullah yang mendidik mereka, sehabat apa pun Imam Syafi’i ada Imam Malik yang selalu mendidiknya. Guru itu adalah murabbi.

  1. Memiliki manhaj tarbiyah dzatiyah

Yaitu Memiliki kurikulum membina diri sendiri, karena kebersamaan dengan lingkungan yang baik dan kebersamaan dengan guru tidaklah selalu ada di setiap waktu. Ada waktunya kita bertanggungjawab atas diri sendiri.

Maka, buatlah agenda pembinaan pribadi baik: tilawah, shaum, sedekah, berkunjung ke para masyayikh, silaturrahim, tabadul hadaya, dll.

Wallahu A’lam