ROTI DIUJUNG RAFAH

Sabiya menutup mulutnya rapat-rapat. Berharap tak ada yg mendengar deruan nafasnya. Suara langkah mulai terdengar mendekati mereka. Zen,sang kakak disampingnya tersenyum, berusaha menunjukkan tak akan ada yang terjadi setelah ini. Semuanya baik baik saja. Begitula mata mereka berbicara.

“hei, mulailah berjaga di tempatmu, jam malam akan segera tiba”

“t-tapi aku meliha-“

“sudahlah, berjaga saja di tempatmu”

Suara dengan bahasa asing itu memenuhi telinga mereka. Pelan pelan langkah itu terdengar menjauh. Hingga menyisakan suara burung diatas sana.

Fyuh.

Keduanya kini bernafas lega.

“tuh kan, abang bilang juga apa”

Zen tersenyum seraya mengusak surai adikya. Sabiya hanya memasang wajah tak suka. Kakaknya ini suka sekali melakukan hal yg bisa menghilangkan nyawanya. Seperti saat ini. Zen nekat memasuki daerah blok B, dimana disana banyak sekali tentara yang berjaga. Namun banyak juga makanan yang bisa dicuri. Benar, Zen mencurinya. Mencurinya di tong sampah. Jangan salah. Tempat sampah daerah blok B adalah surga makanan bagi warga daerah rafah, kota paling ujung di negara palestina.

Zen menyerahkan selembar roti yg berhasil ia ambil dari sana. Sabiya yang tadinya cemberut memasang senyumnya dengan manis.

“nah, gitu dong senyum”

Mereka berdua memakan roti dengan cukup tenang. Bagi mereka, 1 lembar roti yang dibagi 2 ini sudah lebih baik untuk mereka yang tak bisa makan 2 hari ini. Malam itu angin cukup dingin, namun sangat terang. Malam ini bulan menampakkan keseluruhannya. Purnama di rafah itu sangat cantik. Zen mengajak Sabiya untuk megintip malam itu sesaat. Keluar mengendap ngendap,bersembunyi di balik tangki besar berisi pasir.

Mata Sabiya berbinar melihat langit biru gelap itu dihiasi bintang-bintang.

“cantik kan?”

Sabiya mengangguk membenarkan.

“ini hadiah untuk adikku yang ulang tahun”

Sabiya mengerjapkan matanya. Bingung dengan apa yg dikatakan kakaknya. Ada rasa besar yang terpercik di hatinya. Perasaanya meluas, senyumnya semakin mengembang. Terkejut sekaligus gembira. Apalagi saat abangnnya menyodorkan secarik kertas dan bolpoin.

“tadi abang nemu di emperan”

Zen mengulum senyum. Begitu susah menemukan bolpoin dan kertas dalam keadaan seperti ini. Sehingga keduanya sulit berkomunikasi.

Terimakasih abang yang paling handsome dan baik hati di seluruh dunia

Sabiya menulisnya dengan senyum mengejek.

“ih, bukan paling handsome, tapi paling-paling-paling handsome seluruh dunia. Palingnya harus ada 3”

Sabiya menggeleng kepalanya heran.

Maaf ya, abang nga bisa denger langsung suaraku yang indah ini untuk ngucapin terimakasih, padahal sabiya pengen nyanyi lagu tidur punya ayah buat tanda terimakasih.

Zen membacanya. Hatinya terusik membaca deretan kalimat tersebut.

“sebagai gantinya, bang zen bakal nyanyiin lagu ini buat kamu”

Zen mulai mengambil posisi yang nyaman.

“lelah yang kalian rasa hari ini tak sebanding dengan balasan yang ada disana, bahagia bukan tentang kebebasan, tapi tentang kebahagiaan itu sendiri…”

Zen mulai bersenandung, sedangkan Sabiya mulai menutup matanya, menikmati lagu itu dilantunkan.

“taukah apa yang istimewa, meski jiwa tak lagi bersapa,  namun di hati tetaplah ada, anak ayah dengan senyum cerianya…”

Rasanya zen tak kuasa untuk melanjutkan nyanyiannya

“tidur bukan sesuatu yang mengerikan, jika kau tak dapat lagi membuka mata. Ingatlah nanti ada saatnya, mata kita kembali berjumpa, tidurlah anak ayah, pejuang perlukan tenaga, tidurlah anak ayah, berjuang pertahankan jiwa, tidurlah anak ayah, temui nanti di surga”

Zen menyelesaikan bait terakhirnya. Sabiya sudah terlelap. Matanya kini menatap bulan diatas sana. Matanya berair. Pedih, sesuai dengan hatinya yang sesak. Cukup lama zen berdiam dengan isakan yang tertahan. Hingga dirinya kelelahan, menutup matanya yang terlihat sembab.

Sruk.

Zen terbangun dari tidurnya. Bukan di langit malam dan bulan purnamanya. Ini di rumah sakit. Tangannya menggenggam selembar roti disana.

“SABIYA!”

Serunya tiba tiba memenuhi ruangan rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang. Seorang dokter muda datang menemui zen.

“DOK, ADEK SAYA! ADEK SAYA MANA?!”

Dokter itu hanya diam, air mukanya terlihat tak tega untuk menjawab. Zen samakin panik dibuatnya.

Zen mengambil nafas berat. Kepalanya menunduk mengingat semuanya.

Tadi pagi, saat ia masuk ke daerah blok B, ia dikejar kejar oleh penjaga area belakang. Namun selang beberapa meter, tentara itu tak mengejarnya lagi. Entahlah, Zen dengan instingnya berinisiatif untuk putar balik melihat tentara tentara itu. Benar saja, ternyata mereka tengah menjegal seorang gadis. Terlihat warga sekitar juga ikut mengerubungi mereka.

Zen merasa mengenal siluet dari gadis itu. Tangannya diikat, begitupun kakinya.

“SABIYA!”

Zen yang menyadari langsung saja lari menghampiri, namun tubuhnya ditahan oleh tentara yang lain. Tangannya masih menggenggam roti  yang ia ambil tadi. Sabiya tersenyum. Tangannya membentuk gestur makan, lalu menunjuk Zen, tangannya kini menyilang tanda tak boleh, lalu berganti gestur menangis. Senyumya mengembang hingga matanya menyipit.

Setelahnya, bunyi tembakan dan teriakan warga menyatu menjadi satu. Perasaannya campur aduk. Panik bukan kepalang. Ia terus meneriaki adiknya, meski tau adiknya tak akan bisa menjawab lagi walau hanya sebuah anggukan. Zen tak mengerti. Apa alasan mereka. Emosinya memuncak. Ada yg salah disini. KENAPA?! Zen terus berteriak dengan air mata yg mengalir. Hingga salah satu tembakan mengenai kaki dan tangan zen,  laki laki itu kehilangan banyak darah, lalu pingsan.  Saat itu Zen harus menerima takdirnya, dia masih punya harapan sampai benar-benar ada panggilan suci menyusul seluruh keluarganya.

***

Nafas zen tersengal. Tubuhnya merasa mual. Air matanya menumpuk di pelupuk matanya. Akan lebih baik jika kejadian tadi juga hanya mimpi dalam tidur zen. Zen memandang rotinya.

“Pasti ada kebaikan, disetiap takdir Allah”

Hanya kata itu yang dapat terucap. Rasa perih di dadanya tercampur dengan perih di lukanya, isakannya tak terdengar, menahan tangis lebih menyakitkan dibanding tembakan di lengannya. Tangannya mengangkat roti yang sudah bercampur dengan darahnya. Memakannya dengan tak santai. Dokter disana menahan namun zen keras kepala. Dokter itu menepuk nepuk punggung zen.

“menangislah selagi kau bisa menangis. Masih ada banyak sekali hal yang bisa kau syukuri di hidup ini”

Zen terisak. Pundaknya naik turun. Tangisnya terdengar memilukan. “ya Allah, inilah yang takdir-Mu yang terbaik, inilah takdir-Mu yang terbaik, inilah takdir-Mu yang terbaik”, kalimat yang terulang untuk terus menyemangati dirinya. tatapannya selalu tabah, bersiap ke depan.  

***

Sore itu langkah panjang terdengar menyusuri makam yang berjejer dengan rapi. Ia berhenti pada salah satu makam. Tersenyum memandang 3 makam orang tersayangnya . Ia mulai duduk diantara ketiganya. Berdiam diri sekitar 2 menit, mendoakan ayah, ibu dan adiknya. Dunia yang semu telah memisahkan mereka, ia kini tinggal menanti dengan sebuah harapan pasti dengan adanya perjumpaan yang abadi dalam kebahagian yang hakiki di surga dengan semua pertanggung jawaban amal yang dimilikinya di dunia.

Meauw..

Seekor kucing putih terlihat mendekatinya. Zen yang mengingat punya selembar roti membelahnya menjadi 2.

“nih buat kamu satu, buat aku satu, makan yang banyak”

Zen tersenyum. Melihat kucing itu makan dengan lahap. Mulutnya ikut mengunyah roti yang ia bagi dengan kucing itu.

Setelah dirasa cukup mengunjungi keluarganya, Zen memutuskan untuk keluar, melangkahkan kakinya menjauh dari area pemakaman. Tekadnya kini berubah. Menyiapkan diri untuk tetap berjuang di Rafah, kota yang menjadi saksi bisu atas perjuangannya.

***

by GHINA HAYATUL KARIMAH kelas 9A